02 May 2012

Stephanie Handojo, Gadis Down Syndrome Pembawa Obor Olimpiade dari Indonesia


Obor Olimpiade London 2012 akan diarak mulai 19 Mei hingga hari pembukaan, 27 Juli mendatang. Total ada 8.000 pembawa obor yang apinya dinyalakan di Olympia, Yunani, itu. Salah satunya Stephanie Handojo, gadis istimewa dari Surabaya.

Bukan hanya atlet terbaik yang bisa tampil di multi even itu. Pembawa obor Olimpiade pun harus orang-orang piliha dan spesial. Tentu saja Stephanie Handojo juga termasuk yang istimewa itu.
Ya, berdasarkan pengumuman London Organizing Committee for the Olympics Games (LOCOG), penyelenggara Olimpiade London, Nama Stephanie masuk di antara 8.000 atlet pembawa obor Olimpiade yang akan menempuh perjalanan sejauh 8.000 mil atau sekitar 12.800 km secara estafet itu.
Hebatnya, inilah kali pertama ada warga Indonesia yang dipercaya menjadi salah satu pembawa obor Olimpiade. Hebatnya lagi, Stephanie masuk di kelompok 20 pembawa obor dari 20 negara dengan kategori “inspirator”. Dia terpilih setelah dinominasikan oleh UNICEF Indonesia dan The British Council melalui program International Inspiration.
Menurut jadwal, Stephanie akan ambil bagian dalam arak-arakan api Olimpiade pada 28 Juni di Notingham, Inggris. Dia bakal membawa obor Olimpiade sejauh 300 meter. “Saya sangat senang dan bangga mendapat kesempatan membawa nama Indonesia di kancah internasional,” kata Stephanie dengan intonasi bicara yang sedikit lamban dan datar ketika ditemui di kediamannya di Kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara,Minggu lalu (22/04/12).

Siapa sesungguhnya Stephanie Handojo? Gadis kelahiran Surabaya, 5 November 1991, itu adalah atlet down syndrome (keterbelakangan mental). Meski begitu, berkat kerja keras orang tuanya, Santoso Handojo dan Maria Yustina Tjandrasari, Stephanie mampu menorehkan sederet prestasi membanggakan. Yang fenomenal, dia meraih medali emas cabang renang gaya dada 50 meter di ajang Special Olympics World Summer Games 2011 di Athena, Yunani.
Itu adalah puncak prestasi kakak Stephen Handojo dan Stashia Handojo tersebut. Sejak 2005 Fani, panggilan Stephanie, mengantongi banyak medali dari ajang pekan olahraga pelajar penyandang cacat daerah (porcada) maupun pekan olahraga pelajar penyandang cacat nasional (porcanas).
Fani juga punya prestasi hebat di bidang musik. Pada 2009 dia mencatatkan namanya di rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai anak down syndrome yang mampu memainkan 22 lagu dengan piano dalam konser di Mal Ciputra Semarang. Atas prestasi itu, pada 2010 UNICEF memberikan pengakuan dan penghargaan. Mereka menganugerahi Fani gelar Pendekar Anak. Terakhir, pada 23 April belum lama ini Fani kembali mencatatkan namanya di rekor Muri sebagai anak down syndrome yang membawa obor Olimpiade.
Berbagai prestasi itu mengantarkan Fani untuk meraih penghargaan dan beasiswa dari gubernur DKI Jakarta serta menteri pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Saya ingin apa yang saya dapatkan dan lakukan ini bisa menjadi motivasi bagi teman-teman yang senasib dengan saya. Dengan bekerja kerja, kita bisa berprestasi dan mengharumkan nama bangsa serta bisa melakukan hal-hal yang orang normal tidak bisa lakukan,” beber gadis yang mengaku ogah nonton sinetron tersebut.
Agar bisa maksimal saat menjalankan tugasnya membawa obor Olimpiade, mulai 24 April sampai 21 Juni Fani menjalani latihan intensif seminggu tiga kali. “Sampai berangkat ke Inggris pada 23 Juni nanti, Fani bakal menjalani 22 kali latihan lari. Selain itu, dia akan menjalani 10 kali simulasi lari dengan membawa replika obor Olimpiade.
Setiba di Inggris, fani langsung masuk karantina. Aktivitas penyuka film kartun itu bukan hanya ikut membawa obor Olimpiade. Dia juga akan terlibat dalam sejumlah acara lain. Salah satunya, dia bakal mengisi workshop.
Di balik keberhasilan dan kesempatan langka yang diperoleh Fani itu terdapat kisah panjang kerja keras serta pengorbanan kedua orang tuanya. Yustina, ibunda Fani yang mendampingi saat wawancara, menyebut apa yang terjadi dan dialami Fani sebagai mukjizat Tuhan. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Surabaya (Ubaya) itu mengisahkan, sejak hamil Fani dirinya punya firasat bahwa anak pertamanya tersebut bakal menjadi anak “istimewa”.
Sejak itu, perjuangan berat dan pengorbanan Yustina dimulai. Bertekad menyelamatkan kandungan, dia memutuskan untuk berhenti bekerja di sebuah bank swasta di Surabaya.
Singkat cerita, kekhawatiran Yustina akhirnya terjadi. Anak pertamanya lahir ketika usia kandungan belum genap sembilan bulan. Anak itu lahir dalam kondisi mengalami down syndrome.
“Ini bukan keturunan, tapi karena kelebihan sel kromosom. Anak down syndrome biasanya lahir dari ibuusia di atas 30 tahun. Tapi, waktu melahirkan saya masih 25 tahun,” jelasnya.
Sejak Fani lahir, Yustina dan sang suami berjuang keras agar anaknya bisa “normal”. “Kecuali terapi wicara saat kami pindah ke Jakarta pada 1995, semua tentang Fani saya yang tangani sendiri. Saya yang ngajari dari nol,” tutur Yustina.
Berkat ketekunan mama dan papanya, pada umur 5 tahun Fani sudah bisa ngomong dengan lancar.
Umur 2 tahun, Fani juga dikenalkan dengan kolam renang. Sebab, renang sangat bagus untuk merangsang saraf motorik anak-anak down syndrome. Tapi, kegiatan renang benar-benar ditekuni ketika Fani berusia 8 tahun dan sudah menetap di Jakarta. “Pada saat bersamaan, dia juga mulai belajar piano,” tambah Yustina.
Dalam proses tersebut, tak jarang Fani amupun keluarganya mendapat perlakuan kurang simpatik dari orang yang tidak menyukai Fani menjadi anak hebat. Bukan hanya cibiran dan olok-olok yang didapat. Ada juga yang menyebut keluarga Fani kena kutukan, sehingga di antara anak-anak ada yang kurang normal.
Awalnya, Fani bersekolah di SLB (Sekolah Luar Biasa) Dian Grahita Kemayoran. Tapi, hanya sampai kelas V. sebab, guru-gurunya menyarankan Fani dipindahkan ke sekolah umum karena bisa bicara lancar. Fani akhirnya didaftarkan di SD Lidia. Setelah tes, Fani disarankan masuk kelas III. Tapi, dengan pertimbangan agar bebannya tidak terlalu berat dulu, Fani dimasukkan ke kelas II. Lulus SD, dia melanjutkan ke SMP Lidia.
Kini Fani tinggal menunggu kelulusan dari Sekolah Menengah Kejuruan Industri Pariwisata (SMIP) Kasih Ananda untuk jurusan perhotelan. Pertengahan April lalu, Fani baru saja mengikuti ujian nasional. Selanjutnya, orang tuanya tengah merencanakan memasukkan Fani ke Akademi Kasih Ananda.
Untuk masa depan Fani, keluarga juga telah membukakan usaha laundry and dry cleaning di kompleks Gading Bukit Indah. “Kami mikir, setelah lulus, Fani akan kesulitan mencari pekerjaan. Maka, kami bukakan lapangan kerja buat dia,” beber sang ayah, Santoso.
Santoso berharap apa yang dialami putrinya itu bisa motivasi orang lain. Orang tua yang punya anak down syndrome tidak perlu berkecil hati. Sebab, jika dilatih dengan benar, anak tersebut bisa berprestasi dan mandiri.

Sumber
Harian umum Padang Ekspres

No comments:

Post a Comment