Tidak hanya penyandang cacat yang sukses dalam berkarya. Tetapi juga manusia normal pun mampu merangkul para penyandang cacat untuk berkarya bersama dengan menghasilkan berbagai macam kerajinan tangan.
Manusia normal pun memiliki rasa simpati dan empati terhadap kaum disabilitas. Mengingat kita adalah manusia yang tidak sempurna di mata Tuhan Yang Maha Kuasa.
Berikut sebuah kisah singkat tentang Ratnawati Sutedjo yang memiliki misi mulia yaitu merangkul para penyandang cacat guna mengangkat harkat dan martabat serta memberikan kesejahteraan melalui karya kerajinan tangan.
Terbaring lemah tak berdaya selama beberapa waktu mendorong Ratnawati Sutedjo untuk mewujudkan nazarnya. Ratna tergerak membantu penyandang tuna rungu melalui wadah yang ia beri nama Precious One (P-One). Kini, ia bersama sekitar 35 anggotanya. ia membuktikan bahwa penyandang disabilitas juga mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Di ruang tengah rumah yang tak terlalu besar, sejumlah perempuan terlihat sibuk mengerjakan pekerjaan mereka. Ada yang membuat pola, ada pula yang tengah menjahit. Hampir tidak ada suara yang terdengar kecuali bunyi mesin jahit yang sedang mereka operasikan. Namun, jika jeli memperhatikan, sebenarnya mereka sedang 'bersuara' melalui gerakan tangan dan bahasa tubuh mereka.
itulah suasana workshop yang berlokasi di Wilayah Puri Indah, Jakarta Barat. beragam kerajinan tangan seperti dompet, boneka kertas, sampai pakaian batik produksi di tempat ini. "Dengan membuat workshop ini, apa yang mereka buat bisa dihargai orang lain." ujar perempuan peraih penghargaan Perempuan Inspiratif Nova 2011.
Jalankan Nazar
Semua berawal ketika Ratna harus dirawat intensif akibat Hepatitis A yang dideritanya pada tahun 2011 silam. Merasa tak berdaya, ia kemudian berpikir tentang nasib orang-orang yang terlahir dengan kondisi cacat atau disable dan harus mengalami berbagai penolakan dalam hidupnya. "Saya bernazar, kalau saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk hidup lebih lama, saya ingin menolong mereka," setelah dua bulan istirahat total, doa Ratna pun terkabul.
Selama 1,5 tahun ia belajar bahasa isyarat dan menambah pengetahuan tentang anak-anak yang terlahir cacat. "Kalau belajar bahasa isyarat hanya sekadar ingin tahu bisa saja. tapi, nanti akan lupa karena tidak dipakai," jelasnya. berbekal kemampuan baru yang dimilikinya, Ratna mulai mengajar bahasa isyarat kepada seorang anak yang menderita lumpuh sebelah tubuh dan sulit bicara.
"Waktu itu saya sempat menyerah karena saya mau anak didik saya bisa jalan dan mandiri. tapi, itu pikiran lama saya," kata Ratna. Tidak hanya butuh kesabaran tinggi, ia juga harus meyakinkan orang tuanya untuk mendukung kegiatan sosial yang ia lakoni. "Memang tidak ada aktivitas lain yang bisa dilakukan selain itu?" ujar Ratna menirukan pertanyaan orang tuanya.
Ratna kemudian mendirikan P-One pada 2005, meski sang bunda tetap tidak setuju dengan karier barunya sebagai pegiat sosial. Perlu tujuh tahun bagi bungsu dari enam bersaudara ini untuk meyakinkan ibunya. "Akhirnya mereka sendiri yang berkata, pilihan saya enggak salah. Mereka baru mengatakan seperti itu kepada saya sekitar dua tahun yang lalu. itu menjadi kebahagiaan tersendiri buat saya."
Di bawah naungan Yayasan Karya Insan Sejahtera, Ratna menyediakan berbagai alat peraga yang digunakan untuk mengajar. Para anggotanya lalu diajari membuat beragam tas serta dompet. Tak hanya itu, perempuan kelahiran Semarang, 9 Februari 1974 ini juga mengembangkan tiga unit lainnya. Yakni The Silent Art (Unit untuk memproduksi semua yang berhubungan dengan batik), Temui (Unit untuk memproduksi beragam karya boneka kertas), dan Warnai (divisi desain grafis).
selain membina para tuna rungu yang bernaung di yayasannya, perempuan penyandang gelar sarjana akuntansi ini juga harus mencari distributor yang bersedia menjual produk yang dihasilkan tiap unit dari yayasannya. semua karya P-One dapat dibeli masyarakat umum dalam jumlah satuan. Harganya bervariasi tergantung tingkat kesulitan tiap karya yang dibuat.
semua hasil penjualan yang diperolehnya, ia kembalikan lagi ke yayasan. "Seluruhnya masuk ke yayasan untuk mengaji mereka dan untuk menjalankan usaha ini," paparnya. Beragam hasil karya para tuna rungu ini bisa dilihat di workshop P-One yang berlokasi di Permat Buana, Jakarta Barat, atau dapat pula mendatangi ruko mereka di Sunter Garden, Jakarta Utara.
"Tujuan saya membuat workshop agar masyarakat mulai membuka pikirannya bahwa tidak semua penyandang disabilitas harus dikasihani atau bisanya meminta-minta. Saya ingin agar masyarakat juga ikut membangun hidup mereka. Masyarakat harusnya bangga memakai hasil karya orang-orang disabilitas," pungkasnya.
Akhir kata, Ratnawati Sutedjo membangun sebuah workshop untuk para penyandang disabel agar bisa berkarya melalui kerajinan tangan. Usaha ini mirip dengan Angkie Yudistia yang juga membangun sebuah perusahaan sosial untuk membantu para penyandang tuna rungu dan kaum disabilitas guna berkarya. Sebuah misi mulia yang sangat jarang orang lain melakukannya.
Well, ingatlah wahai engkau. Janganlah engkau sia-siakan hidup engkau dengan segala kekurangan yang engkau miliki. Ingatlah bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa terus mengawasi engkau hingga akhir hayat. Berbuat baiklah kepada sesama dan kaum disabilitas dan berikanlah sebuah harapan yang nyata niscaya mereka akan mengingat engkau dan Tuhan akan membalas kebaikanmu dengan sebuah pahala yang besar.
Sumber :
Tabloid Nova Edisi 1260 April 2012.
No comments:
Post a Comment