Selama ini kita selalu memahami satu konteks terhadap kata-kata tuli, tuna rungu dan gangguan pendengaran di mata masyarakat sehingga menjadi ambigu karena setiap kali kita membahas gangguan pendengaran selalu dikaitkan dengan tuna rungu bahkan dibilang tuli.
Padahal kata-kata tersebut memiliki pemahaman yang berbeda loh. Biar ga salah paham, simak yuk perbedaan ketiga kata tersebut.
Pembahasan terminologi tersebut bersumber dari sebuah diskusi berjudul “Tuli, tuli, Gangguan Pendengaran, Tuna Rungu apakah sama?” yang diadakan 3 April 2017 pukul 20.00 - 21.30 WIB silam ini adalah seorang Tuli bernama Fikri Muhandis asal Yogyakarta yang kini sedang menempuh pendidikan S1 di Universitas Brawijaya Malang.
Dalam diskusi tersebut dibuatkan dalam bentuk video dengan format seperti tatap muka disertai penjelasan dalam bahasa isyarat agar mudah dipahami bagi Tuli,
Pada videonya yang pertama, Fikri menjelaskan bahwa kata ‘tuli’ dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) artinya rusak pendengaran dan merupakan kata yang kasar dan negatif. “Nah kalau Tuli dengan T besar, ini merujuk pada sebuah kelompok minoritas yang berkembang, memiliki budaya, dan pengguna bahasa isyarat dalam bekomunikasi”, jelas Fikri.
Fikri menjelaskan dalam video keduanya bahwa istilah tuna rungu dibuat oleh sekumpulan dokter dengar tanpa melibatkan orang Tuli. Istilah tuna rungu inilah yang kemudian masuk ke dalam KBBI. “Hingga kata ini dianggap lebih baik, halus, sopan, dan formal. Banyak dokter yang menyarankan orang Tuli untuk berlatih oral / gerak bibir. Namun sayangnya menjadi fokus pada terapi wicara tanpa ada waktu lagi bagi anak Tuli untuk berbaur dengan teman-temannya yang bisa mendengar. Sehingga anak Tuli tertinggal banyak ilmu”, imbuh mahasiswa angkatan 2012 ini.
Pada video ketiganya, Fikri menjelaskan mengenai gangguan pendengaran. “Gangguan pendengaran itu bukan untuk Tuli, namun untuk orang dengar yang turun kemampuan dengarnya contohnya karena seseorang bertambah tua. Nah orang dengan penurunan kemampuan dengar inilah dapat terbantu denga menggunakan alat bantu dengar”, terang Fikri.
Di akhir diskusi, moderator menyimpulkan bahwa permasalahan utama adalah masyarakat umum belum mengetahui bahwa Tuli bukan kata yang kasar. Masalah ini disebabkan kurangnya sosialisasi guna memberikan pemahaman mengenai identitas Tuli, budaya Tuli, dan bahasa isyarat. Hanya sebagian kecil masyarakat yang memahami perbedaan terminologi tersebut. Masalah ini diakui oleh Fikri karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat luas.
Masyarakat cenderung apatis terhadap penggunaan kata-kata ini tanpa tahu apakah mereka itu tuli, tuna rungu ataukah gangguan pendengaran. jadinya masyarakat cukup menyebut Tuli. Memang terdengar ga sopan untuk dibahas secara terang-terangan. Hal ini diakibatkan kurangnya pemahaman dan sosialisasi pengetahuan.
Semoga kita bisa memahami mereka dengan baik tanpa melukai perasaan mereka yang telah memahami kita terlebih dahulu.
Sumber : solider.id
No comments:
Post a Comment